Rumah Terakhir Masyarakat Tobelo Dalam
Rumah Terakhir Masyarakat Tobelo Dalam*
Artikel ini sangat menarik karena membahas tentang penduduk asli pulau tersebut dan merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan pulau tersebut. Anda bisa mendapatkan esai ini dan banyak makalah lainnya hanya dengan mengklik order essay di https://order-essays.com/ link.
Masyarakat Asli Pulau Halmahera
Dalam penelitiannya yang disponsori oleh Burung Indonesia pada tahun 2009, Farida Indriani (doktor antropologi) telah menunjukkan data persebaran komunitas masyarakat Tobelo Dalam (Tugutil) di dalam kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata berada pada 20 (dua puluh) lokasi di blok Lolobata dan 2 (dua) lokasi di blok Aketajawe. Masyarakat Tobelo Dalam merupakan penduduk asli Pulau Halmahera yang telah mendiami wilayah ini sejak ratusan tahun yang lalu. Penelitian tersebut mengkategorikan pola hidup masyarakat Tobelo Dalam saat ini ke dalam 3 (tiga) tipe. Tipe pertama adalah komunitas yang masih tinggal di dalam hutan, hidupnya berpindah-pindah dan memenuhi segala kebutuhannya dari sumber daya hutan. Tipe ke dua adalah komunitas yang telah tinggal di pinggir-pinggir hutan atau desa di sekitar hutan namun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka masih menggantungkan hidup dari sumber daya hutan dan secara berkala mereka masuk ke dalam hutan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Adapun tipe ke tiga adalah komunitas suku yang telah tinggal dan menetap di desa-desa sekitar hutan serta memenuhi kebutuhannya dari berladang/berkebun di sekitar desa. Secara turun temurun, komunitas suku ini, khususnya tipe pertama dan ke dua, memenuhi kebutuhan hidupnya secara tradisional melalui aktivitas berburu, meramu dan berladang sederhana, sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan masyarakat Suku Tobelo Dalam tidak dapat dipisahkan dengan kawasan hutan.
Taman Nasional Aketajawe Lolobata
Tahun 2004, melalui keputusan Menteri Kehutanan nomor 397/Menhut-II/2004, sebagian kawasan hutan di Pulau Halmahera seluas 167.300 hektar ditetapkan sebagai Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata yang terdiri dari 2 (dua) blok, yaitu blok Aketajawe seluas 77.100 hektar dan blok Lolobata seluas 90.200 hektar. Penetapan hutan sebagai kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata bertujuan untuk melindungi dan menjaga keutuhan ekosistem hutan Halmahera, termasuk di dalamnya untuk memberi ruang beraktivitas bagi masyarakat Tobelo Dalam. Untuk melaksanakan dan mewujudkan tujuan tersebut, maka dibentuk institusi pengelola kawasan pada tahun 2007, yaitu Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata yang mengemban visi pengelolaan kawasan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam mewujudkan tujuan pengelolaan, Balai TNAL melaksanakan kegiatan pengelolaannya melalui pendekatan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari guna mendukung perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekargaman hayati pada kawasan. Berbagai kegiatan, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus bersinergi dengan rencana pengelolaan kawasan. Tidak ada ruang bagi aktivitas-aktivitas yang berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem kawasan. Sedangkan bagi komunitas Suku Tobelo Dalam, aktivitas tardisionalnya diakomodasikan antara lain melalui sistem zonasi kawasan, yaitu dengan ditetapkannya zona tradisional, di mana aktivitas tradisional masyarakat Tobelo Dalam masih diperkenankan.
Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati Halmahera
Dengan pola hidup tradisionalnya, masyarakat Tobelo Dalam mutlak membutuhkan kondisi kawasan hutan yang masih utuh dan terjaga dengan baik, di mana sumber daya hutan tersedia secara melimpah. Di sisi lain, kekayaan sumber daya alam yang demikian besar di Pulau Halmahera bak gula-gula bagi para semut. Para pemodal, baik asing maupun lokal, baik yang legal maupun yang illegal, berdatangan memperebutkan kelezatan sumber daya alam Halmahera. Mereka mengeksploitasi sumber daya alam Halmahera melalui ijin pertambangan, ijin penebangan bahkan tanpa ijin yang sah seperti pembalakan liar, perburuan satwa dan penambangan illegal. Gempuran ancaman yang terus menerus seperti ini tentu tak akan sanggup dibendung oleh masyarakat Tobelo Dalam yang makin tersisih masuk lebih dalam ke dalam hutan atau harus merubah pola hidupnya, tinggal menetap menjadi masyarakat desa sebagaimana masyarakat pada umumnya. Memaksa masyarakat Tobelo Dalam untuk menjadi pemukim menetap tidak selalu menjadi jalan keluar terbaik. Standar hidup layak tidak lah tunggal. Standar kelayakan hidup masyarakat modern belum tentu merupakan standar hidup layak bagi komunitas masyarakat yang lain.
Pengelolaan Kolaboratif
Melalui penetapan sebagian hutan menjadi kawasan taman nasional, pemerintah berharap adanya sebagian kawasan hutan yang terjaga keutuhan dan keseimbangan ekosistemnya yang mampu menyediakan sumber-sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, termasuk masyarakat suku di pedalaman, berupa air bersih, iklim yang bersahabat, udara bersih, pangan yang cukup dan sumber kehidupan lainnya. Namun demikian, sangat dipahami bahwa pengelolaan sebuah kawasan konservasi, sebagaimana halnya taman nasional, akan menemukan kekuatannya bila didukung oleh para pihak, terutama masyarakat sekitar. Di sisi lain, upaya-upaya pelestarian alam oleh masyarakat juga akan memperoleh kekuatannya bila mendapat back up dari pemerintah. Menilik adanya keselarasan antara tujuan pengelolaan kawasan taman nasional dengan kebutuhan masyarakat Tobelo Dalam, semestinya lah hal ini menjadi bahan perekat antara pengelola kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata dengan masyarakat sekitar, termasuk masyarakat Tobelo Dalam. Tidak semestinya mereka diposisikan berhadap-hadapan, melainkan berjalan beriringan bergandeng tangan mewujudkan pengelolaan kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata bagi kesejahteraan masyarakat.
Bila pohon-pohon mati, maka bumi pun mati
Dan manusia menjadi yatim piatu
Tidak ada tempat tinggal
Lalu… mati.
*Ditulis oleh Bp. Sadtata Noor Adirahmanta, S.Hut, MT (Kepala Balai TN Aketajawe Lolobata)